Labels

Wednesday 23 May 2012

Suara Akar Ilalang


Suara Akar Ilalang *
Oleh : Wayan ‘Jengki’ Sunarta


Prolog
(Ngamar Sutra, 2010, karya Laksmi Shitaresmi)
Dalam dunia seni rupa, perempuan seringkali hanya menjadi objek (model) untuk karya-karya yang dibuat laki-laki. Dengan mudah kita menemui lukisan atau patung bertema perempuan, terutama dalam pose telanjang (nude). Bagi banyak perupa laki-laki, perempuan adalah pusat keindahan atau sumber inspirasi, oleh karenanya sering dieksploitasi atas nama kesenian. Namun, sesungguhnya perempuan juga memiliki hak untuk menyuarakan dirinya lewat karya-karya seni rupa, meski masih sering dianggap angin lalu.

Posisi perempuan sebagai kreator seni rupa boleh dikatakan sangat marginal. Bahkan sejarah seni rupa di Indonesia pun tak begitu banyak mencatat kiprah perempuan perupa. Keadaan ini diperparah lagi dengan minimnya jumlah perempuan perupa di Indonesia. Bahkan, banyak yang tak berkarya lagi karena didera berbagai kesibukan rumah tangga (domestik). Seni rupa di Indonesia dikuasai sistem patriarki yang kurang memberi kesempatan kepada perempuan perupa untuk mengembangkan talenta, imajinasi dan kreasinya. Misalnya, minimnya kesempatan untuk memamerkan karya, kurangnya penghargaan terhadap karya perempuan perupa, dan sebagainya. Padahal kalau diberi kesempatan untuk berkreasi, kualitas karya-karya perempuan perupa bisa diadu dengan karya-karya laki-laki perupa.

(Laksmi Shitaresmi)
Sejumlah data tercecer menyebutkan bahwa sejak awal 1900-an hingga detik ini para perempuan perupa telah ikut mewarnai dan menyemarakkan dunia seni rupa kita. Misalnya, R.A. Kartini berserta dua adiknya, Rukmini dan Kardinah, pernah belajar melukis pada pelukis naturalis Belanda. Kemudian, pada1930-1950-an, tercatat Emiria Soenassa (anggota PERSAGI) dan Mia Bustam (anggota SIM). Pada tahun 1960-an, muncul Kartika Affandi, Umi Dachlan, Rita Widagdo, Farida Srihadi, Erna Pirous, Ida Hadjar. Tahun 1970-1980-an ada Nunung WS, Yanuar Ernawati, Nanik Mirna, Edith Ratna, Heyi Mamun, dll. Era 1990-2000-an tercatat nama Dolorosa Sinaga, Astari Rasjid, Arahmaiani, Lucia Hartini, Yani Mariani Sastranegara, Dyan Anggraeni, IGK Murniasih. Era selanjutnya mencuat nama-nama seperti Tita Rubi, Erica Hestu Wahyuni, Tintin Wulia, Wara Anindyah, Laksmi Shitaresmi, Bunga Jeruk, Ni Made Sani. Nama-nama di atas hanya untuk menyebut contoh eksistensi perempuan perupa di Indonesia.

Tema-tema yang digarap perempuan perupa itu sangat beragam, mulai dari keindahan alam, kehidupan sehari-hari, persoalan sosial, urusan domestik, konflik batin, hingga persoalan ketidakadilan gender. Tema yang disebut terakhir ini lebih banyak muncul pada periode 1990-an, kemudian semakin intens di tahun-tahun selanjutnya. Perempuan perupa semakin menyadari bahwa melalui media seni rupa mereka bisa mengungkapkan berbagai persoalan gender yang mereka alami, baik di dalam rumah tangga maupun dalam pergaulan sosial budaya lebih luas. Hal ini juga berkaitan dengan makin maraknya pembahasan feminisme dalam ilmu-ilmu sosial dan budaya, yang pada akhirnya masuk ke dalam wacana seni rupa.

Ketidakadilan Gender
(Wara Anindyah)
Gender bukanlah kodrat, bukan pula sesuatu yang biologis. Gender adalah suatu konstruksi sosial-budaya yang membedakan laki-laki dengan perempuan yang dibentuk berabad-abad dalam ideologi patriarki, suatu ideologi yang mengutamakan laki-laki. Perbedaan gender ini seringkali melahirkan ketidakadilan gender, berupa stereotype, kekerasan, beban ganda, marginalisasi, subordinasi. Dalam bidang seni rupa, misalnya, perempuan seringkali dianggap tak mampu menciptakan karya masterpiece, karya-karya perupa perempuan kurang diakui dan kurang mendapat tempat yang layak (marginalisasi), dan sebagainya. 

Gender dengan berbagai efek yang merugikan perempuan sering menjadi wacana dan perjuangan feminisme di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Gender merasuk ke dalam berbagai sistem sosial dan budaya. Dalam kebudayaan Jawa, misalnya, terkandung filosofi, nilai, norma, yang menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua. Perempuan sering dianggap “konco wingking” (teman belakang). Ada pula ungkapan “swarga nunut, neraka katut” (ke sorga ikut, ke neraka juga ikut) yang menyebabkan perempuan tak punya pilihan lain, tak boleh melampaui suami, bahkan tak berdaya dan tak berkuasa atas dirinya sendiri. Perempuan ideal bagi masyarakat Jawa adalah manak (harus bisa memberi keturunan), macak (berdandan), masak (memasak) bagi suaminya. Atau istilah lainnya, perempuan identik dengan dapur (memasak), pupur (berdandan), kasur (urusan ranjang), sumur (mencuci). 

(Dyan Anggraini)
Pencitraan perempuan dalam konteks gender ini dikonstruksi berabad-abad dalam sistem sosial dan budaya Jawa, bahkan diwarisi hingga sekarang. Banyak perempuan tak menyadari bahwa konstruksi pencitraan ini, merupakan sumber berbagai ketidakadilan gender. Bahkan, kata lain dari perempuan adalah “wanita”, yang berarti “wani ditata”, berani diatur hidupnya oleh laki-laki. Sehingga, perempuan harus hidup dalam “nrimo ing pandhum”, harus ikhlas menjadi pembantu/pendamping laki-laki, seberat apa pun bebannya. Banyak obsesi pribadi yang harus diredam demi memuaskan dan membahagiakan suami. Sebab suami adalah “sigaran nyawa” (belahan jiwa), suatu konstruksi gender yang ikut melemahkan posisi perempuan.

Gerakan feminisme Barat tak bisa disamakan dengan gerakan atau pun perjuangan perempuan di Timur, termasuk Jawa. Perempuan Jawa memiliki kemampuan untuk mengolah sikap pasrah dan nrimo menjadi kekuatan yang luar biasa hebat. Perempuan Jawa menjalani peran sebagai istri, mengasuh anak, mengurus rumah tangga, dan bekerja untuk ikut menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Melalui sikap pasrah dan nrimo, perempuan Jawa mampu bertahan dan mengatasi berbagai kesulitan hidupnya.

Suara Akar Ilalang
(Lucia Hartini)
Pameran ini menampilkan karya-karya lima perempuan perupa berbeda generasi yang tergabung dalam Kelompok Akar Ilalang. Nama mereka sudah tak asing lagi dalam kancah seni rupa di Indonesia. Mereka adalah Lucia Hartini, Dyan Anggraini, Wara Anindyah, Laksmi Shitaresmi dan Juni Adhitia Wulandari. Tema-tema karya mereka cenderung berkutat pada persoalan yang dihadapi perempuan, berkelindan dengan dunia fantasi. Karya-karya mereka adalah suara dari ruang kalbu yang terdengar sayup-sayup, namun mampu memberi makna bagi kehadirannya.

Para perempuan perupa ini sejak lahir telah dibentuk dalam kehidupan sosial budaya Jawa yang sangat kental menganut ideologi patriarki. Di dalam budaya patriarki ini, secara disadari atau pun tidak, mereka telah mengalami banyak ketidakadilan gender. Budaya patriarki membuat laki-laki mendominasi struktur sosial, dari tingkat keluarga hingga yang lebih luas. Laki-laki dianggap sebagai penentu arah kebudayaan, bahkan kehidupan. Sementara itu, perempuan seringkali hanya dianggap pelengkap keutuhan kekuasaan laki-laki.

Juni Wulandari
Melalui wawancara tertulis, mereka mengatakan bahwa mereka bukanlah penganut feminisme. Mereka lebih merasa sebagai perempuan Jawa yang masih setia menganut nilai-nilai dan falsafah budaya patriarki. Mereka dengan pasrah dan nrimo menghadapi dan menjalani berbagai bentuk ketidakadilan gender yang menimpa mereka, baik di lingkungan rumah tangga, maupun pergaulan sosial. Mereka adalah jenis perempuan Jawa yang cenderung “menurut” pada suami.  “Suara” mereka kurang mendapat tempat di ruang patriarki. Dan, pada akhirnya, mereka menggunakan media seni rupa sebagai ruang untuk “bersuara”. Bagi mereka, melukis adalah karier, sekaligus sarana untuk menumpahkan unek-unek atau beban pikiran, ekspresi dari imajinasi dan fantasi, bahkan terapi untuk penyembuhan luka batin. 

Meski hidup dalam budaya patriarki Jawa, lima perempuan perupa ini tidaklah secara frontal menampilkan karya-karya yang melawan atau memberontak terhadap hegemoni patriarki tersebut. Kalau pun karya mereka mengandung nuansa pemberontakan terhadap kekuasaan laki-laki, cenderung diungkapkan secara metaforis, simbolis, bahkan dengan parodi jenaka. Baiklah, untuk memberi gambaran yang lebih lengkap, selanjutnya saya akan membahas mereka satu per satu.

Lucia Hartini
(Hati yang Menang, 2010, karya Lucia Hartini)
Karya-karya Lucia Hartini berpijak pada surealisme. Kritikus seni rupa, Sanento Yuliman, menggolongkan Lucia sebagai salah satu penekun “Surealisme Yogya”. Kekuatan lukisannya terletak pada penggarapan objek dengan sangat detail, semisal buih-buih ombak, kerut merut batu karang. Lukisan-lukisannya yang metaforis dan surealis penuh dengan filosofi kehidupan yang digalinya dari perenungan demi perenungan. Lucia memiliki kemampuan memadukan realitas dengan alam bawah sadar, sehingga kebanyakan lukisannya mengesankan suasana ambang mimpi yang mencekam.  

Hal itu, misalnya, bisa dilihat pada lukisan “Hati yang Menang” yang merupakan ungkapan pengalaman Lucia yang telah mampu menjinakkan beringasnya badai kehidupan. Lucia telah mengecap begitu banyak pahit getir kehidupan, terutama persoalan rumah tangga. Dia dua kali menikah, dan keduanya gagal. Dia telah berusaha menurut dan patuh pada suami, namun tetap saja menerima kekerasan fisik maupun psikis. Akhirnya dia memutuskan bercerai dan tidak menikah lagi. Dan saat itulah dia merasa jiwanya menang karena mampu menentukan arah hidupnya sendiri tanpa perlu lagi ditata (diatur) atau berkonfrontasi dengan laki-laki (suami).

Sementara itu, lukisan “Hancurlah Bunganya” berkisah perihal perempuan (dilambangkan sebagai bunga) yang tak diberi kesempatan untuk berkembang. Di tengah budaya patriarki, perempuan selalu mengalami banyak ketidakadilan gender. Lucia pun mengalami banyak kekerasan dan diskriminasi di dalam rumah tangga, maupun di dalam pergaulan sosial. Lucia pernah mengalami trauma hebat yang sempat membuat jiwanya terganggu. Lukisan ini mengungkapkan bahwa ketika perempuan terus menerus dikekang untuk mengembangkan kemampuannya, suatu waktu dia akan memberontak dan meledak, menghancurkan dirinya sendiri maupun sekitarnya.

Wara Anindyah
(Biografi Cakrawala Menghilang, 2010, karya Wara Anindyah)
Wara termasuk sosok pelukis yang sangat pendiam, cenderung introvert. Namun jiwanya selalu bergejolak, ada benih-benih pemberontakan yang selalu dipendamnya. Banyak karya periode awalnya yang menggambarkan ketertekanan batinnya. Namun, karya-karya periode tahun 2000-an sungguh jauh berbeda. Dia banyak menggarap figur Tionghoa yang ironis, wajah-wajah seperti hantu, namun selalu senyum dan sumringah dengan hiasan warna-warni yang meriah. 

Karya-karya yang dipamerkan kali ini berbeda dengan karya periode Tionghoa. Karya-karya ini menggunakan warna hitam putih, tidak ada figur-figur Tionghoa, suasana yang dibangun sangat suram dan mencekam. Lukisan-lukisan yang dibuat dengan tinta cina di atas kanvas ini lebih banyak menggambarkan penderitaan, kesakitan, renungan tentang kematian. Di sini Wara kembali menemukan kejujuran hatinya, semacam dialog batin, tentang makna hidup dan mati. 

Misalnya, lukisan “Simfoni Bianglala Memudar” berpijak dari pengalaman pribadi Wara ketika bergulat dengan tumor selama lebih dua tahun. Selama menderita sakit itu, dia merenungi perjalanan hidupnya, masa lalu, masa kini, masa depan. Dia berupaya membaca rahasia kehidupan yang terpendam, menyibak kabut mimpi, menerobos dinding harapan dan penipuan diri. Saat tumor di lehernya dioperasi dia merasa berada di ambang batas hidup dan mati. Segalanya memudar. Kesunyian menyengat. Tetapi anehnya naluri, intuisi dan imajinasi menghangat. Menurut Wara, rahasia hidup terpahami hanya dengan membaca rahasia kematian. Sedang hakekat kematian hanya mungkin terkuak dengan memasuki rahasia hidup terdalam.

Pada “Biografi Cakrawala Menghilang”, Wara merenungi hidup hanyalah perjalanan kosong. Wara menyadari bahwa masa lalu tak terhapus dan masa depan adalah masa kini yang harus dipahami dan diberi makna. Ke mana arah hidup kalau bukan menuju ke sebuah pertanyaan besar? Manusia dilahirkan dengan menggendong kematiannya sendiri. Sedangkan, pada lukisan “Tak Ada yang Abadi”, Wara menganggap manusia lebih hebat dari dewa karena manusia bisa mati. Kematian akan memahkotai hidup. Penyempurnaan terjadi dengan adanya kematian. Segala sesuatu memang pasti musnah. Tapi tidak setiap kemusnahan merupakan kematian. Tak ada yang abadi. Itulah renungan-renungan yang ingin disampaikan Wara melalui lukisan-lukisannya yang mencekam.

Dyan Anggraini
(Red White, 2011, karya Dyan Anggraini)
Selama ini karya-karya Dyan Anggraini dikenal melalui representasi figur-figur perempuan bertopeng, terkadang dikaitkan dengan figur-figur wayang. Jelaslah bahwa di dalam berbagai interaksi sosial, manusia cenderung memakai topeng untuk berbagai tujuan, baik eksistensi diri, pencitraan, maupun penipuan diri. Selain itu, manusia hanyalah wayang di dalam melakoni kehidupan ini. Itulah sekelumit filosofi yang bisa dibaca pada karya-karya terdahulu Dyan. 

Namun, pada pameran ini, Dyan menampilkan karya-karya dimana dirinya sendiri sebagai subjek maupun objek. Sebagai subjek, perempuan perupa harus mampu hadir dan ikut aktif memberi warna pada perkembangan seni rupa, termasuk ikut menyuarakan persoalan-persoalan sosial di sekitarnya. Dengan demikian perempuan memiliki arti bagi kehadirannya. Sehingga, perempuan tak hanya sibuk berkutat pada persoalan di ranah rumah tangga (domestik).

Lukisan “Berpikir”, misalnya, merepresentasikan figur Dyan Anggraini yang duduk bertopang dagu. Figur itu berkostum merah, sedangkan bayangannya berkostum putih. Warna kostum ini merupakan simbol bendera merah putih. Dalam pose berpikir atau melamun ini, berbagai rupa persoalan menyergap benak sang tokoh. Perempuan pun ikut terlibat memikirkan persoalan bangsa dan negara yang makin tak jelas arahnya. 

Posisi perempuan di tempat kerja juga sering bergesekan dengan ideologi patriarki, yang tak jarang menimbulkan ketidakadilan gender. Perempuan berupaya bertahan, atau melindungi dirinya, bila perlu melancarkan pemberontakan. Lukisan “Berlindung” adalah ungkapan keresahan Dyan terhadap posisi perempuan di tengah berbagai persoalan yang dihadapinya di tempat kerja. Selain pelukis, Dyan Anggraini adalah seorang PNS. Dia menjabat sebagai Kepala Taman Budaya Yogyakarta. Jelaslah interaksi di tempat kerja seringkali muncul menjadi inspirasi untuk karya-karya terkininya.

Laksmi Shitaresmi
(Monggo Pakne..., 2010, karya Laksmi Shitaresmi)
Laksmi termasuk perempuan perupa yang kenyang dengan penderitaan hidup. Dia keturunan ningrat Jawa. Sejak kanak-kanak dia telah terbiasa menerima kekerasan fisik dan psikis dari ayah dan adik lelakinya, dari dunia patriarki Jawa. Dia pernah mengalami goncangan jiwa yang hebat. Trauma berkepanjangan. Usia remaja dia kabur dari rumah dan hidup di jalanan. Dia berjuang untuk mempertahankan kehidupannya. Karya-karya periode awalnya banyak melukiskan tentang penderitaan perempuan. Mirip Frida Kahlo, dia menggunakan dirinya sendiri sebagai model lukisan dengan pose-pose yang ironis dan mengenaskan. Keindahan dan kepiluan campur baur dalam banyak lukisan awalnya. 

Laksmi adalah perupa termuda dari Kelompok Akar Ilalang. Meski usia muda, Laksmi intens mengeksplorasi berbagai kemungkinan dalam dunia seni rupa. Selain melukis, dia juga membuat patung dan seni instalasi. Karya-karyanya banyak terinspirasi dari filosofi dan ikon budaya Jawa yang dipadu dengan berbagai isu sosial yang lagi hangat. Selain itu, pada sejumlah karyanya juga tersembunyi persoalan-persoalan ketidakadilan gender dari ranah domestik (rumah tangga) yang pada akhirnya berkembang menjadi persoalan perempuan pada umumnya.

Karya-karya Laksmi cenderung dekoratif, namun terkandung keberanian mengungkapkan suatu yang tabu. Misalnya, karya “NgamarSutra” menampilkan adegan coitus seorang perempuan dengan kuda jantan berbadan separuh manusia. Karya ini bersumber dari fantasi Laksmi terhadap hubungan intim suami-istri, yang semestinya dipenuhi kenikmatan lahir dan batin, sehingga terwujud kedamaian dan ketentraman dalam rumah tangga. Laksmi menyimbolkan laki-laki sebagai kuda jantan. Namun, dalam karya ini, posisi perempuan yang ditindih kuda jantan, jelas masih menggambarkan perempuan Jawa yang pasrah dan nrimo, suatu watak yang dibentuk oleh budaya patriarki.

Agak berbeda dengan karya Laksmi yang berjudul “Monggo Pakne Ayo Bukne” yang menggambarkan sepasang tikus bermain tali. Di sini tampak tikus betina yang memegang kendali permainan. Tikus betina tampak asyik menarik atau memainkan tali yang terpatok di kepala tikus jantan yang bermahkota. Tikus jantan ini dalam posisi sungsang, kepala di bawah kaki di atas. Secara simbolis, karya ini mengandung suatu pemberontakan terhadap dunia laki-laki yang selama ini sering mengendalikan perempuan. Namun, dalam karya ini, pemberontakan itu diungkapkan dengan jenaka.

Juni Adhitia Wulandari
(Suara Ratan, 1998, karya Juni Wulandari)
Juni mengaku bahwa dirinya bukanlah penganut feminisme, meski beberapa karyanya seringkali dikait-kaitkan dengan gerakan feminisme. Namun, di sisi lain Juni mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan Jawa sesungguhnya memiliki hak dan kewajiban yang sama. Dan keharmonisan keluarga akan lebih indah jika ada perbedaan, tanpa perlu melawan. Baginya, suami adalah sigaran nyawa (belahan jiwa) sehingga berbakti pada suami adalah suatu keharusan sebagai pribadi yang tahu budi pekerti Jawa. Juni termasuk beruntung karena suaminya sangat mendukung kariernya sebagai pelukis.

Juni menganggap melukis sudah menjadi bagian dari hidupnya. Dia mengatakan karya-karya yang diciptakannya adalah untuk memberi makna pada kehidupan, menembus ruang dan waktu untuk menuju keutamaan hidup. Inspirasi lukisan-lukisannya lebih banyak digali dari dunia fantasi, cenderung naivisme, tidak proposional dan bertaburan warna-warni meriah. Sebelum beralih ke naivisme, Juni pernah cukup lama menggarap lukisan-lukisan figuratif bertema perempuan. Karya-karya terkininya menyiratkan kebahagiaan dunia anak-anak. Namun selalu terkandung pesan-pesan tertentu yang ingin disampaikannya. Terkadang pada sejumlah karyanya mencuat persoalan-persoalan sosial dan kemanusiaan yang menjadi keprihatinannya. Misalnya, terlihat pada lukisan yang bertema pergolakan dan reformasi Mei 1998.

Epilog
Karya-karya lima perempuan perupa ini memberikan suatu gambaran kepada kita bahwa masing-masing mengusung persoalan yang berbeda. Keinginan untuk menyuarakan diri begitu kuat dan menemukan mediumnya lewat karya-karya seni rupa yang mereka ciptakan. Ada cukup banyak perenungan yang bisa dipetik dari karya-karya mereka. Dan, tentu saja, tergantung pada keterbukaan jiwa kita untuk mendengar suara kalbu mereka, meski sayup-sayup. Itulah suara-suara dari Akar Ilalang.



*tulisan untuk katalog pameran “Akar Ilalang” di Griya Santrian Gallery, Sanur, Bali. Pameran berlangsung dari 25 Mei – 27 Juli 2012.

2 comments:

  1. postingnya bagus sob makasih
    jangan lupa berkunjung ke web kami di
    http://stisitelkom.ac.id

    ReplyDelete
  2. Memang di balik kelembutannya, wanita menyimpan energi dahsyat dan kreativitas tanpa batas. Apa jadinya alam semesta tanpa wanita? Salam kagum buat para wanita perkasa dan Mas Wayan yang trampil mengulas.

    ReplyDelete